EKONOMI REGIONAL : 8. URBANISASI DAN PERTUMBUHAN KOTA

URBANISASI DAN PERTUMBUHAN WILAYAH PERKOTAAN

 

Perkembangan kota sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah perkotaan (urbanisasi). Analisis tentang petumbuhan wilayah perkotaan tentunya harus dikaitkan dengan perkembangan jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan bersanguktan.  Struktur perekonomian dan permasalahan yang dihadapi oleh wilayah perkotaan juga ternyata tidak sama dengan yang terdapat di wilayah pedesaaan, sehingga analisa yang diperlukan tentunya juga berbeda.

 

A.  URBANISASI

Wilayah perkotaan (urban areas) diartikan sebagai konsentrasi penduduk pada suatu wilayah atau daerah tertentu. Karena itu ciri-ciri daerah perkotaan dapat dilihat dari tiga aspek utama, yaitu:

  1. Jumlah penduduk yang berdiam di daerah bersangkutan, kepadatannya untuk setiap km persegi serta struktur perekonomiannya. Suatu daerah dikataan sudah menjadi daerah perkotaan ditempati oleh penduduk paling kurang 50.000 orang.
  2. Segi kepadatan, sebuah kota mempunyai kepadatan penduduk paling kurang100 orang untuk setiap km pesegi.
  3. Struktur perekonomian kota tidak lagi didominasi oleh sektor pertanian, tetapi mulai menjadi daerah yang mempunyai komposisi industri, perdagangan dan jasa yang lebih besar dari sektor pertanian.

 

Urbanisasi menurut sifatnya merupakan konsentrasi secara spasial dari penduduk dan kegiatan ekonomi pada suatu tempat tertentu. Tidak semua tempat dapat menjadi tempat konsentrasi spasial penduduk dan kegiatan ekonomi. Konsentrasi ditumbulkan oleh beberap a faktor pendorong, adanya potensial kegaitan produksi yang cukup besar pada daerah bersangkutan seperti pertanian atau pertambangan yang mendorong terjadinya aglomerasi pada tempat tersebut.

 

Konsentrasi spasial terjadi karena terdapatnya keuntungan lokasi yang muncul dalam bentuk penghematan ongkos transportasi dan muat bongkar, karena adanya sungai atau pelabuhan yang dapat mendorong munculnya kegiatan perdagangan. Atau adanya lahan yang sangat subur sehingga mendorong berkembangnya kegiatan pertanian pada wilayah tersebut. Bahkan konsentrasi dapat menjadi besar dan bersifat dominan secara nasional, sehingga terjadinya daya tarik untuk konsentrasi tinggi (urban proximity) dan dapat menimbulkan beberapa dampak negatif seperti kemacetan lalu lintas, harga tanah yang sangat mahal, polusi dan meningkatnya kriminal.

 

Perkembangan wilayah perkotaan sangat ditentukan oleh tingkat urbanisasi yang terdapat di wilayah bersangkutan.Urbanisasi pada dasarnya adalah porsi jumlah penduduk yang hidup di wilayah perkotaan.Urbanisasi ditentukan pula oleh 3 unsur yaitu :

  1. Pertumbuhan penduduk (population growth)
  2. Perpindahan penduduk dari desa ke kota (urban-rural)
  3. Bila terjadi pemekaran wilayah perkotaan

 

Secara alamiah pertmbuhan penduduk ditentukan oleh tingkat kesuburan ibu (fertility) dan tigkat kematian (mortality). Ahli ilmu ekonomi perkotaan, permasalahan urbanisasi menekankan pembahasannya pada proses terjadinya urbanisasi dan kekuatan yang melatar belakangi. Analisa untuk dapat memahami struktur dan pola pertumbuhan wilayah perkotaan dan sekaligus sebagai dasar perumusan kebijakan publik dalam rangka mendorong proses pertumbuhan dan pengendalian penduduk sebuah wilayah perkotaan.

 

Diungkapkan oleh Hirsch (1984), ada dua kondisi yang dapat mendorong terjadinya urbanisasi, yaitu :

     a. Fenomena sisi penawaran (supply side)

Yang merupakan kombinasi dari perbandingan biaya komperatif (comperative cost advantage), spesialisasi produk dan skala ekonomi (economies of scale), fenomena ini seringkali disebut sebagai “production-initiated urbanitation.

    b. Fenomena sisi permintaan (demand side)

Yang pada dasarnya merupakan local market-initiated urbanitation, terutama karena perkembangan jumlah rumah tangga (haouse holds) yang berdiam di wilayah perkotaan tersebut.

 

    1.    Fenomena Urbanisasi Penawaran

Fenomena supply side ini, urbanisasi dapat dianalisa melalui berbagai aspek perbandigan biaya seperti ketersedian fasilitas transportasi, akses terhadap sumber daya alam, iklim yang baik dan adanya tenaga kerja produktif. Contoh, perkembangan kota Padang yang ditunjang oleh perkembangan pelabuhan Teluk Bayur dan peningkatan produksi Semen Padang. Perusahaan memanfaatkan keuntungan kompertaif (comperative advantage) yang dimilkinya untuk suatu produk, akan mendorong terjadinya spesialisasi produk pada daerah bersangkutan. Industri yang berkonsentrasi untuk memproduksi komoditas tertentu akan mendorong pula perkembangan kebutuhan benda modal (mesin dan peralatan produksi) kegiatan perdagangan,jasa dan pendidikan yang terkait dengan industri bersangkutan. Selanjutnya akan mendorong pula terjadinya konsentrasi penduduk (urbanisasi) yang cukup cepat ke wilayah tempat perusahaan berlokasi.

 

Mengikuti Hirsch (1984), melalui grafik megambil 2 kegiatan berbeda yaitu industri baja (steel) di kota Cilegon dan tekstil disekitar kota Bandung. Kondisi ini di gambarkan oleh kurva Production Possibility Fronteir (PPF) dari dua kota tersebut yaitu ASAt untuk kota Bandung dan BSBt untuk kota Cilegon. Grafik pertama terlihat bahwa kota Bandung mempunyai keuntungan komperatif dalam produksi tekstil, sedangkan gambar kedua terlihat pula bahwa kota Cilegon mempunyai keuntungan komperatif dalam produksi besi baja. Seandainya harga relatif dari kedua komoditas direpresentasikan oleh kurva MM. Dalam kondisi equilibrium, kurva PPF akan bersinggungan dengan kurva harga relatif yang berarti bahwa margial cost akan sama dengan perbandingan harga kedua komoditas terkait. Kota Bandung akan cenderung berspesialisasi pada komoditas tekstil sedangkan kota Cilegon akan cenderung berspesialisasi pada komoditas besi baja.

 

Spesialisasi produksi akan dapat pula menimbulkan keuntungan ekonomi skala besar (large-scale economies) yang dapat mendorong perkembangan masing-masing perusahaan industri. Perkembangan kegiatan produksi akan mendorong pula pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja pada kota yang berangkutan, sehingga konsentrasi penduduk atau urbanisasi meningkat. Selanjutnya akan mendorong pula proses perkembangan ekonomi dan sosial pada kedua kota bersangkutan.

 

Pada grafik bentuk dari kurva PPF dan titik potongnya dengan garis harga. Nilai produksi tekstil di kota Bandung akan berada pada kondisi maksimum pada titik S, sedangkan kota Cilegon berada pada tiik T.

 

Keuntungan skala besar sangat berperan terhadap pola konsentrasi spasial dari kegiatan tersebut sehingga mendorong terjadinya proses urbanisasi. Hal ini didukung oleh spesialisasi produksi pada masing-masing kota yang memungkinkan produksi dilakukan dengan skala besar, sehingga menjadi lebih efisien karena adanya penghematan dalam biaya prduksi dan transportasi.

    

      2.    Fenomena Urbanisasi Sisi Permintaan

Fenomena urbanisasi sisi permintaan memperlihatkan bahwa proses urbanisasi pada suatu wilayah perkotaan terjadi karena konsentrasi permintaan pada suatu wilayah tertentu yang selanjutnya akan mendorong peningkatan kegiatan produksi dan konsentrasi penduduk. Ketika pertumbuhan terjadi maka akan meningkatkan permintaan terhadap kegiatan perdagangan dan jasa. Peningkatan kegiatan perdagangan dan jasa dapat pula mendorong terjadinya konsentrasi penduduk (urbanisasi) pada tempat tersebut melalui peningkatan migrasi penduduk masuk ke wilayah bersangkutan (in-migration). Demikian terlihat terjadinya peningkatan migrasi masuk merupakan factor pendorong utama (push factor) terjadinya proses urbanisasi.

 

Salah satu factor pendorong peningkatan permintaan adalah perpindahan penduduk ke dalam wilayah perkotaan (in-migration) yang tidak selalu dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi seperti tersedianya lapangan kerja. Faktor yang bersifat non ekonomi akan muncul karena adanya dorongan (push factor) dari daerah yang masih terbelakang dan tarikan social dan daya tarik kehidupan kota pada wilayah perkotaan yang sudah relative maju. Sedangkan factor lain yang berasal dari dalam adalah pertumbuhan penduduk pada daerah perkotaan bersangkutan.

 

      3.    Proses Urbanisasi Interaktif

Fenomena urbanisasi baik dari segi penawaran maupun segi permintaan dapat berinteraksi satu sama lainya. Sering terjadi dimana urbanisasi segi penawaran berperan lebih kuat dibandingkan urbanisasi segi permintaan. Ketika kekuatan biaya komperatif mulai dimanfaatkan ,kegiatan produksi yang didukung oleh keuntungan ekonomi skala besar dan permintaan ekspor akan segera meningkat dan akan mendorong terdapatnya peluang untuk penciptaan lapangan kerja, selanjutnya mendorong pula proses pertumbuhan jumlah dan kepadatan penduduk sehingga terjadi peningkatan proses urbanisasi pada wilayah bersangkutan.

 

Jika urbanisasi segi penawaran mulai bekerja dan didorong oleh berbagai keuntungan lokasi terkait dengan wilayah perkotaan akan mendorong terjadinya pertumbuhan kota dalam bentuk munculnya konsentrasi kegiatan perdagangan, industri dan jasa. Kegiatan ini juga mendorong perkembangan kegiatan pendukung lainya seperti pendidikan,kesehatan,dan pelayanan social lainya.

 

Dari dua analisis tersebut terlihat bahwa kekuatan yang berhubungan dengan terjadinya proses urbanisasi segi penawaran dan segi permintaan mendorong pula proses pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi dan social wilayah perkotaan.Kecepatan proses pertumbuhan kota ditentukan oleh besar kecilnya dampak berganda (Multiplier Effect) yang dapat dihasilkan.Melalui kekuatan dampak berganda dapat juga mendorong pertumbuhan produksi,lapangan kerja dan pelayanan public pemerintah setempat.Ketika kegiatan ekonomi tersebut sudah bisa dikembangkan  juga bisa mendorong terjadinya efeck ke muka (forward linkages) terhadap kegiatan produksidan efek ke belakang (backward linkages) terhadap penyediaan bahan baku dan bahan penolong (input).

 

Analisis diatas terlihat bahwa sebenarnya ada kaitan yang erat antara proses urbanisasi dan konsentrasi penduduk dengan peningkatan industrialisasi wilayah perkotaan.hal ini karena peningkatan proses urbanisasi dapat mendorong timbulnya spesialisasi produksisehingga produktivitas meningkat ,karena penggunaan teknologi majuserta inovasi dan penciptaan produk baru.semua ini merupakan factor penting yang dapat menunjang terjadinya proses industrialisasi.Dapat juga dikatakan proses urbanisasi sebenarnya berkaitan erat dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah perkotaan khususnya dan kemajuan negara dan bangsa umumnya.

 

        B.  KONSEP KOTA

Kota (city) dasarnya adalah wilayah perkotaan yang telah mempunyai status administrasi sebagai sebuah kota,baik kota kecil,kotamadya maupun kota metropolitan Adisasmita (2005).

Kota juga diartikan sebagai suatu wilayah dimana terdapat pemusatan (konsentrasi) penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, social, budaya dan administrasi pemerintahan. Sebuah kota meliputi konsentrasi daerah pemukiman berpendudukan cukup besar dengan kepadatan yang relative tinggi dimana kegiatan penduduk didominasi oleh kegiatan nonpertanian seperti industri, perdagangan, jasa, baik dibidang keuangan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan pariwisata. Sedangkan pola hubungan ke masyarakat pada sebuah kota akan bersifat lebih efisien dan rasional dan tidak terlalu banyak bersifat tradisonal dan emosional.

 

Kota mempunyai daya tarik (attractiveness) yang sangat besar bagi penduduk ,baik yang bearda di wilayah pedesaan   maupun kota-kota kecil sekitarnya untuk datang dan menetap di kota bersangkutan. Dari segi ekonomi daya tarik kota muncul karena relatif banyak lapangan kerja yang terdapat di daerah perkotaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Sedangkan dari segi sosial kehidupan kota lebih maju dan menyenangkan karena fasilitas kehidupan sosial dan budaya yang lebih banyak sehingga lebih menyenangkan. Kehidupan kota juga mempunyai aspek negative karena biaya hidup yang lebih tinggi, kemacetan lalu lintas yang sudah mulai menjadi hambatan bagi mobilitas penduduk serta tingkat polusi udara dan air yang lebih buruk.

 

Karakteristik kota adalah relative tingginya tingkat pertumbuhan dibandingkan daerah pedesaan.hal ini tidak saja di negara maju tapi juga pada negara sedang berkembang. Tingkat pertumbuhan dapat dilihat dari segi pertumbuhan penduduk maupun pertumbuhan kegiatan ekonomi (PDRB) masyarakat. Pertumbuhan kota yang cepat umumnya desebabkan karena adanya keuntungan aglomerasi (Aglomeration Economies) dan keuntungan ekonomi skala besar (large Scale Economies) dan adanya kegiatan ekonomi lain yang saling terkait dan tersedianya fasilitas sosial dan budaya yang terdapat pada wilayah perkotaan tersebut.

 

Dengan adanya pertumbuhan kota yang cepat pemerintahan kota seharusnya dapat mengantisipasi pertumbuhan kota dengan berbagai kebijakan dan perencanaan tata ruang dan pembangunan ekonomi dan sosial terarah. Bila antisipasi tidak dilakukan sedini mungkin maka pertumbuhan kota yang cepat tersebut  juga dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang cukup rumit seperti  pengangguran dan kemiskinan perkotaan, munculnya banyak daerah kumuh (slump areas), kemacetan lalu lintas dan kualitas lingkungan rendah yang ditunjukan oleh tingginya tingakat polusi air dan udara serta kebersihan kota yang rendah.

 

  1. C.  PERTUMBUHAN WILAYAH PERKOTAAN

Pertumbuhan kota yang cepat sudah menjadi fenomena pembangunan baik negara maju maupun negara sedang berkembang.Untuk menganalisa pertumbuhan kota dan kaitanya dengan Ilmu Ekonomi Perkotaan maka perlu dikaitkan juga dengan analisa tentang Keuntungan Aglomerasi (Aglomeration Economies) dan beberapa model pertumbuhan ekonomi wilayah perkotaan.

 

Jika proses urbanisasi mulai terjadi maka timbul secara otomatis proses pertumbuhan ekonomi wilayah perkotaan.Walaupun proses keuntungan komperatif,spesialisasi produksi dan keuntungan skala besar terus berlanjut ,keuntungan aglomerasi akan terus juga berjalan. Pada dasarnya keuntungan aglomerasi adalah merupakan manfaat ekonomi dalam bentuk penurunan biaya produksi dan transportasi yang dapat ditimbulkan karena adanya beberapa kegiatan ekonomi terkait yang berlokasi saling berdekatan pada suatu wilayah tertentu.

 

Manfaat dari adanya keuntungan aglomerasi dapat ditimbulkan dalam berbagai bentuk,yaitu tersedianya pertukaran bahan baku,dan pasar secara lebih dekat sehingga produksi dapat dilakukan dengan skala lebih efisien,penurunan biaya transportasi dan penggunaan fasilitas bersama sehingga dapat menurunkan biaya produksi. Dapat dikatakan keuntungan Aglomerasi mempunya tiga unsur utama yaitu Scale Economies, Localization Economies dan Urbanization Economies. Isard (1960) menyebut tiga keuntungan aglomerasi ini sebagai Spatial Juncta Position, yaitu keuntungan yang timbul dari keterkaitan dalam aspek ruang (spatial).

 

Kenyataanya bukan hanya sektor swasta seperti industri, perdagangan dan jasa cendrung berkumpul (aglomerate) di kota tetapi juga sektor pemerintah  sesuai dengan hierarki daerah perkotaan. Berarti konsentrasi sektor pemerintah dilakukan sesuai dengan fungsi kota apakah sebagai ibukota negara,ibukota propinsi atau ibukota kabupaten. Kehadiran pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan public kepada masyarakat khususnya dalam bidang penyediaan infrastruktur, fasilitas pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial lainya.

 

Rumah Tangga (Household) juga cendrung brkumpul di wilayah perkotaan (aglomerate) mengikuti perkembangan dunia usaha dan pemerintah.hal ini didorong oleh penyediaan lapangan kerja baik sektor swasta maupun sektor pemerintahan. Aglomerasi rumah tangga akan menentukan konsentrasi wilayah pemukiman penduduk yang juga merupakan komponen utama dalam pertumbuhan wilayah perkotaan.

 

Kenyataan perkembangan wilayah perkotaan umumnya meningkat cukup besar, baik daerah maju maupun terbelakang. Dengan menggunakan penduduk sebagai ukuran besarnya daerah perkotaan ,maka pertumbuhan kota yang terjadi di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir terlihat pada Tabel 9.1 menjelaskan bahwa sebagian besar kota-kota besar dengan penduduk di atas 1 juta orang yang terdapat di Indonesia terletak di pulau Jawa dengan DKI Jakarta merupakan kota terbesar yang sudah berstatus sebagai kota metropolitan dengan jumlah penduduk mencapai 9,6 juta orang pada tahun 2010. Sedangkan kota Bandung, Surabaya dan Medan merupakan kota kedua dengan status Kota Besar dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta orang pada tahun 2010. Kota-kota lainya yang juga termasuk dalam status kota besar adalah Medan, Semarang, Palembang dan Makasar. Sedangkan kota-kota kategori sedang dengan penduduk antara 100.000 orang sampai dengan 1 juta ternyata jumlahnya cukup banyak seperti Denpasar, Yogyakarta, Pekanbaru, padang dan lainya.

 

 

 

 

Tabel 9.1

Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Beberapa Kota Besar di Indonesia 2000-2010

Kota

2000

2010

Pertumbuhan (%)

DKI Jakarta

8.347.083

9.607.787

14,17

Surabaya

2.599.796

2.611.506

4,50

Bandung

2.073.568

2.288.570

9,91

Medan

1.904.273

2.029.797

6,40

Semarang

1.269.502

1.438.733

12,59

Palembang

1.151.419

1.342.258

15,45

Makasar

1.076.275

1.194.583

10,48

Sumber : BPS, Sensus Penduduk 2000 dan 2010

 

Sebagaimana layaknya kota-kota di negara sedang berkembang, laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan di Indonesia adalah cukup tinggi yaitu mencapai rata-rata antara 5 sampai dengan 15 persen setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota (urban-rural migration) di Indonesia adalah sangat tinggi. Fenomena ini terjadi karena dipicu oleh proses pembangunan yang lebih cepat di daerah perkotaan guna mendapatkan lapangan pekerjaan baru dan tingkat upah yang lebih tinggidibandingkan dengan daerah pedesaan.

 

Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota tersebut ternyata jauh lebih besar dari pertambahan jumlah lapangan kerja yang dapat di ciptakan di daerah perkotaan sebagai hasil dari pertumbuhan kegiatan ekonomi. Akibatnya tingkat pengangguran di daerah perkotaan akan cenderung terus meningkat yang selanjutnya memicu pula peningkatan jumlah penduduk miskin. Kondisi tersebut ternyata telah membawa berbagai permasalahan yang cukup serius dan rumit dalam pengelolaan pemerintahan kota yang merupakan tantangan cukup berat bagi pembangunan daerah perkotaan sehingga harus ditanggulangi secara lebih serius di masa mendatang.

 

 

 

 

  1. D.  MODEL PERTUMBUHAN WILAYAH PERKOTAAN

Sebegitu jauh telah terdapat dalam literatur beberapa model pertumbuhan ekonomi wilayah perkotaan. Model yang cukup terkenal antara lain adalah Urban Labor Market Model dan Central-Place Model. Model pertama lebih banyak didasarkan pada analisa ilmu ekonomi, khususnya Ekonomi Sumber Daya Manusia. Sedangkan model kedua lebih banyak didasarkan pada aspek lokasi dan tata ruang dalam ilmu ekonomi regional.

 

Model Pasar Tenaga Kerja Perkotaan (Urban Labor Market Model) pada dasarnya merupakan kelanjutan dari Export-based Model dari analisis Ekonomi Regional yang telah dijelaskan terdahulu pada Bab 4 buku ini. Model ini mula-mula menggunakan lapangan kerja sebagai ukuran besarnya kota, tetapi kemudian berkembang menjadi nilai tambah (value added) sebagaimana yang terdapat pada statistik Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berikut ini diberikan formulasi dan penjelasan teoritis dari kedua model tersebut.

 

  1. 1.    Model Pasar Tenaga Kerja Perkotaan

Dalam Model Pasar Tenaga Kerja Perkotaan (Urban Labor Market) ini, analisis dimulai dengan hubungan yang stabil antara ketersediaan lapangan kerja pada suatu wilayah (Local Employment, EL) dengan jumlah pekerjaan yang terdapat di luar wilayah tersebut (Non Local Employment, ENL). Dengan kata lain, permintaan tenaga kerja yang dibahas di sini timbul dan berkembang karena perkembangan kegiatan ekspor dari wilayah lain (perdagangan antar wilayah).

 

Hubungan ini selanjutnya dijadikan sebagai basis utama untuk merumuskan angka pengganda lapangan kerja (employment multiplier) yang merupakan ide pokok dalam Model Basis Ekspor. Sedangkan dalam kaitan dengan pertumbuhan (incremental) kota, hal ini dapat digambarkan dalam bentuk perubahan jumlah penyediaan lapangan kerja yang ditentukan oleh perubahan lapangan kerja du luar wilayah. Dengan demikian, angka pengganda lapanga kerja tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:

 

Dimana  adalah koefisien pengganda lapanga kerja (employment multiplayer).

 

Namun demikian, Model Basis Ekspor sederhana ini tidak dapat menangkap hubungan internal yang bekerja dalam wilayah bersangkutan. Analisis yang lebih baik akan mempertimbangkan kaitannya dengan ekonomi pada wilayah tertentu. Akan tetapi, analisis tersebut ternyata mengaitkan perekonomian kota sebagai faktor dari dalam (endogenous variable) yang dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada wilayah luar kota bersangkutan (exogenous variable).

 

Sebagaimana biasanya terdapat dalam Ilmu Ekonom Sumber Daya Manusia, permintaan terhadap tenaga kerja wilayah perkotaan mempunyai kemiringan (slope) negatif. Ada dua alasan utama terjadinya hal ini, yaitu:

  1. Begitu upah daerah perkotaan meningkat, akan cenderung terjadi proses substitusi (subtitution effect) antara tenaga kerja yang sudah menjadi mahal tersebut dengan modal yang masih relatif murah sehingga mengakibatkan menurunnya permintaan terhadap tenaga kerja wilayah perkotaan.
  2. Bilamana upah daerah perkotaan meningkat, maka biaya produksi pada daerah tersebut juga akan meningkat yang selanjutnya akan menyebabkan menurunnya produksi dan sekaligus permintaan terhadap tenaga kerja wilayah perkotaan.

 

Sebagaimana biasanya, kurva permintaan tenaga kerja wilayah perkotaan ini dapat mengalami pergeseran (demand shift). Secara umum, pergeseran kurva permintaan ini dapat terjadi karena terjadinya tiga hal berikut ini :

1)   Peningkatan permintaan terhadap barang-barang ekspor ke daerah lain (demand for export) yang selanjutnya akan mendorong pula peningkatan kegiatan produksi pada wilayah perkotaan bersangkutan, sehingga akan terjadi peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja yang cukup besar pada wilayah tersebut.

2)   Peningkatan produktivitas tenaga kerja (labor productivity) akan cenderung menurunkan biaya produksi wilayah perkotaan sehingga memungkinkan pengusaha untuk menurunkan harga output dan meningkatkan jumlah produksi. Kenaikan produksi ini selanjutnya akan meningkatkan pula permintaan terhadap tenaga kerja sehingga terjadi pergeseran kurva permintaan.

3)   Kenaikan pajak kota dan retribusi pelayanan publik akan mendorong peningkatan biaya produksi sehingga harga komoditas yang akan diekspor keluar daerah juga meningkat. Hal ini selanjutnya akan cenderung menyebabkan menurunnya permintaan terhadap tenaga kerja wilayah perkotaan yang ditunjukkan oleh pergeseran kurva permintaan. Demikian pula sebaliknya bila terjadi penurunan pajak lokal dan retribusi pelayanan publik.

 

Dari segi penawaran terlihat bahwa kurva ini mempunyai kemiringan yang positif. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh migrasi (migration effect) yang disebabkan karena kenaikan upah daerah perkotaan akan menyebabkan bekerja di daerah ini menjadi lebih menarik karena dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini selanjutnya akan mendorong terjadinya arus migrasi yang cukup tinggi dari daerah pedesaan menuju wilayah perkotaan (urban-rural migration). Dengan demikian, penawaran tenaga kerja (labor supply) akan cenderung pula meningkat pada daerah perkotaan.

 

Sama halnya dengan permintaan, pergeseran kurva penawaran juga dapat terjadi. Pergeseran ini dapat disebabkan oleh dua hal berikut ini, yaitu :

1)   Peningkatan kualitas lingkungan hidup (enviromental quality) seperti tersedianya air minum yang lebih baik, meningkatnya kebersihan kota atau berkurangnya polusi udara, akan meningkatkan daya tarik masyarakat untuk tinggal di daerah perkotaan sehingga penawaran tenaga kerja wilayah perkotaan meningkat. Hal ini selanjutnya akan mengakibatkan pula terjadinya pergeseran kurva penawaran tenaga kerja.

2)   Peningkatan pajak pemukiman dan retribusi pelayanan publik akan menurunkan daya tarik masyarakat untuk datang ke wilayah perkotaan sehingga terjadi proses perpindahan keluar kota (urban out-migration) yang mengakibatkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja wilayah perkotaan. Hal ini selanjutnya juga akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurav penawaran tenaga kerja.

 

Pengaruh pergeseran kurav permintaan tenaga kerja wilayah perkotaan terhadap tingkat urbanisasi dapat dilihat pada grafik dibawah. Disini terlihat bahwa bilamana terjadi pergeseran permintaan tenaga kerja ke kanan dari D0 ke D1 (kenaikan permintaan terhadap tenaga kerja wilayah perkotaan) dengan asumsi bahwa penawaran tidak berubah, maka hal ini akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk yang datang ke wilayah perkotaan karena penambahan kesempatan kerja menjadi L1. Perubahan ini selanjutnya akan mendorong pula penambahan perpindahan penduduk ke daerah perkotaan sehingga tingkat urbanisasi akan meningkat.

 

 

Demikian pula sebaliknya bila terjadi pergeseran kurva tenaga kerja ke kiri dari D0 ke D2 karena berkurangnya permintaan terhadap tenaga kerja menjadi L2 yang menyebabkan menurunnya penduduk wilayah perkotaan. Pengaruh yang sama juga dapat terjadi bila terjadi pergeseran kurva penawaran tenaga kerja karena adanya faktor – faktor sebagaimana dijelaskan di atas. Tentunya, besarnya pengaruh terhadap tingkat pertumbuhan penduduk daerah perkotaan tersebut akan sangat ditentukan oleh tingkat pergeseran mana yang lebih dominan dari kedua kemungkinan tersebut.

 

  1. 2.    Model Pusat-Wilayah

Model Pusat – Wilayah (Central Place Model) merupakan model pertumbuhan kota berdasarkan pada hierarki (tingkatan) wilayah perkotaan dalam pemerintahan.

Dengan memperhatikan hierarki kota tersebut, model ini dapat menentukan berapa banyak wilayah perkotaan sebaiknya dikembangkan serta dengan ukuran berapa besar. Karena itu model ini banyak digunakan oleh para ahli dalam merencanakan pembangunan wilayah perkotaan.

 

Model ini mula – mula diperkenalkan oleh August Losch (1954) dan Cristaller (1966). Model ini pada dasarnya menjawab dua pertanyaan penting, yaitu:

  1. Berapa banyak kota sebaiknya dikembangkan dalam suatu wilayah?
  2. Mengapa sebagian kota mempunyai lebih besar dari yang lain?

Mengikuti Sullivan (1990) Model Pusat-Wilayah sederhana dapat digambarkan seandainya diasumsikan terdapat suatu wilayah dengan tiga jenis barang konsumsi, yaitu: piringan lagu, pizza dan perhiasan. Sedangkan wilayah tersebut mempunyai karakteristik (asumsi) sebagai berikut:

  1. Jumlah penduduk wilayah tersebut adalah 80.000 orang dengan tingkat kepadatan (population density) relatif sama.
  2. Tidak terdapat pencemaran lingkungan (shoping externalities) dalam kegiatan perdagangan.
  3. 3.    Semua input yang diperlukan terdapat di semua lokasi dengan harga yang sama (ubiquitus inputs).
  4. 4.    Pemintaan tersebar secara merata di seluruh wilayah (uniform demand)
  5. 5.    Jumlah pertokoan yang dibutuhkan untuk ketiga jenis barang konsumsi tersebut di atas bila diasumsikan mempunyai permintaan per kapita dan skala ekonomi yang sama.

 

Model pusat wilayah ini pada dasarnya menggunakan pendekatan orientasi pasar (market oriented). Karena input tersedia di semua lokasi maka ongkos transpor dapat diabaikan dalam analisis ini. Contoh:

  • Toko perhiasan akan cenderung memilih lokasi di pusat wilayah karena lokasi tersebut dapat meminimumkan ongkos angkut yang diperlukan dalam melakukan kegiatan perdagangan. Di samping itu, para pekerja yang berkaitan dengan kegiatan toko perhiasan akan cenderung pula bertempat tinggal di sekitar toko untuk meminimumkan ongkos angkut pulang balik (communiting) yang harus dikeluarkan setiap harinya. Hal ini juga akan mendorong pertumbuhan kota di sekitar lokasi pertokoan barang perhiasan tersebut.
  • Selanjutnya bila dilihat pula pada konsentrasi kegiatan penggandaan dan perdagangan kaset nyanyian dan film (records), juga akan cenderung terkonsentrasi pada pusat permintaan yang selanjutnya akan mendorong munculnya kota lain. Karena kepadatan penduduk kota diasumsikan sama ,maka kegiatan ini akan membentuk empat pasar yang sama. Akan tetapi karena pada wilayah ini juga terdapat kota disekitar toko perhiasan akan mendorong terdapatnya permintaan yang cukup besar untuk membentuk dua toko yang sama di dekat kota L. Jika kota L ini mempunyai penduduk untuk mendukung keberadaan dua toko kaset, maka dua toko lainnya menyebar ke lokasi lain dalam wilayah yang bersangkutan. Dan akan dikembangkan pula dua buah toko lain di sekitar pasar M.
  • Adanya toko Pizza pada lokasi tertentu juga akan mendorong terjadinya suatu pusat pasar yang selanjutnya akan mendorong pula terbentuknya beberapa kota baru. Oleh karena tingkat kepadatan penduduk lebih tinggi dari pada kota – kota di sekitar toko perhiasan dan toko kaset film dan nyanyian, maka hal ini akan mendorong terbentuknya lebih dari satu toko pizza pada kota L dan M. Seandainya L dapat mendukung toko pizza dan setiap M akan dapat mendukung dua toko pizza, maka akan terdapat delapan toko pizza pada kota L dan M. Sisa toko pizza lainnya akan terbagi pada delapan wilayah pasar yang selanjutnya akan mendorong berdirinya delapan tambahan kota S lainnya. Hierarki kota dalam model ini, dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

 

 

Keterangan gambar:

Kota L                                       Kota M                                                Kota S

  1. Toko perhiasan                      1. Toko Kaset                                      1. Restoran Pizza
  2. Toko Kaset                           2. Restoran Pizza
  3. Restoran Pizza

 

 

 

Penjelasan gambar :

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa, pada wilayah segi empat akan terdapat sebelas buah kota berbagai ukuran. Kota besar (L) akan terletak pada pusat wilayah yang berisikan toko perhiasan, pizza dan kaset. Kota L ini mempunyai penduduk sekitar 20.000 orang yang berarti bahwa kota ini cukup besar untuk mendukung berdirinya 4 toko pizza, yaitu rata – rata sekitar 5.000 orang untuk setiap toko pizza. Kota ini menjual kaset kepada penduduk di sekitar kota S dengan jumlah penduduk sekitar 40.000 orang (20.000 dari kota L dan 5.000 dari setiap 4 kota S) akan dapat mendukung berdirinya dua buah toko kaset dan pizza di sekitar kota kecil S, yaitu rata – rata masing – masing toko untuk 10.000 orang penduduk. Sedangkan kota kecil S dengan jumlah penduduk sekitar 5.000 orang, masing – masingnya hanya mampu mendukung sebuah toko pizza saja. Distribusi dan jumlah penduduk yang terdapat pada setiap kota berdasarkan model ini , dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

 

 

 

Penjelasan Grafik:

Pada garafik di atas, garis vertikal menunjukkan ukuran kota berdasarkan jumlah penduduk dan garis horizontal menunjukkan tingkat atau ranking masing – masing kota. Kota yang terbesar mempunyai penduduk sekitar 20.000 orang, sedangkan kota menengah M dan kota kecil S masing – masingnya mempunyai penduduk sebanyak 10.000 orang dan 5.000 orang.

Berdasarkan analisis dari model Pusat-Wilayah sederhana tersebut terdapat tiga hal penting yang perlu dicatat, yaitu:

  1. Setiap wilayah perkotaan mempunyai ukuran dan ruang lingkup pekerjaan yang berbeda satu sama lainnya. Variasi ini muncul akibat perbedaan keuntungan skala ekonomi pada setiap kegiatan produksi dibandingkan dengan permintaan per kapita pada masing – masing areal pasar.
  2. Dalam suatu wilayah, pola umum yang cenderung akan terjadi adalah terdapatnya sedikit kota besar dan banyak kota kecil.
  3. Konsumen umumnya cenderung akan lebih suka melakukan perjalanan menuju kota yang lebih besar dibandingkan dengan kota yang lebih kecil.

 

Dalam kenyatannya, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa sebenarnya tidak semua pertumbuhan kota terjadi dengan mengikuti pola model Pusat-Wilayah (Central-Place Pattern) sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Menurut Adisasmita (2005) terdapat kelemahan model Pusat-Wilayah ini, dintaranya:

  1. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak kota – kota besar tidak mengkhususkan fungsinya pada produksi barang – barang dan jasa yang akan dipasarkan ke daerah yang luas sebagaimana di perkirakan oleh model Pusat-wilayah. Persoalan yang timbul dalam pertumbuhan kota ternyata tidak sesederhana seperti yang diperkirakan oleh model ini. Kebutuhan pelayanan kepada penduduk kota yang cukup banyak jenisnya dan sangat luas jangkauannya yang harus ditempuh dan disediakan secara cukup merata dan murah, ternyata juga ikut memengaruhi.
  2. Analisis Pusat-Wilayah ternyata lebih menekankan pada peranan sektor perdagangan dan kegiatan jasa dibandingkan dengan kegiatan produktif lainnya, seperti industri pengolahan dan kegiatan transportasi. Dalam hal ini, kegiatan tersebut dianggap sebagai kegiatan produktif yang tidak sesuai dengan model Pusat-Wilayah, karena produk kedua indistri ini lebih banyak melayani pasar nasional dan regional, bukan untuk wilayah perkotaan tertentu saja.
  3. Pertumbuhan kota umumnya terus meningkat dan setelah sampai pada suatu tingkat kota tersebut akan memerlukan sumber daya yang didatangkan dari luar daerah baik dalam bentuk modal maupun sumber daya manusia. Dalam hal ini, arus masuknya sumber daya tersebut dari luar daerah tidak dapat dijelaskan dalam penegertian permintaan barang dan jasa dari daerah hinterland sebagaimana dikemukakan dalam model Pusat-Wilayah.

Walaupun model Pusat-Wilayah ini mempunyai beberapa kelemahan, namun model ini juga terdapat kelebihannya, yaitu:

  1. Model ini ternyata telah dapat memberikan kerangka fikir yang bermanfaat tentang sistem perwilayahan dan terbentuknya kota – kota.
  2. Model ini telah dapat mengidentifikasikan kekuatan pasar yang dapat mendorong terjadinya sistem hierarki perkotaan.
  3. Model ini juga sudah dapat memberikan penjelasan mengapa terdapat kota dengan ukuran besar, menengah dan kecil dalam suatu wilayah tertentu.

 

Pengecualian terhadap berlakunya sistem hierarki kota – kota ini dapat terjadi apabila terdapat hal – hal sebagai berikut:

  1. Terdapat variasi yang sistematis dalam permintaan per kapita warga kota
  2. Penentuan lokasi perusahaan yang mengarah pada orientasi menuju sumber bahan baku yang lokasinya tidak terletak pada daerah perkotaan.

 

Sehingga bila terdapat salah satu atau keduanya dari kedua unsur tersebut, maka pengembangan kota diperkirakan tidak akan mengikuti pola model Pusat-Wilayah seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Leave a comment